Seperti di ungkapkan kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Lisyawati Nurcahyani, pergerakan pemuda di Kalimantan Barat ini dimulai dari terbentuknya Sarikat Islam (SI) di Ngabang pada tahun 1914. Pada masanya, organisasi berbasis keagamaan ini berhasil menuai simpati dari masyarakat.
Saat sedang jaya-jayanya, tiba-tiba saja pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah untuk membekukan seluruh kegiatan SI. Kebijakan ini diambil sebagai tindak lanjut dari maraknya pemberontakan anggota SI di Jawa Barat dan Sumatera. “Karana ruang geraknya terbatasi, sepulangnya dari Batavia, Gusti Sulung Lelanang langsung membentuk Partai Sarikat Islam (PSI) pada tahun 1923,” ujarnya.
Kehadiran PSI di tanah Borneo ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat. Banyak dari pengurus SI yang tertarik untuk meleburkan diri ke PSI. Beberapa tokoh SI tersebut adalah Muhammad Hambal, Achmad Marzuki, Muhammad Noor, Muhammad Sood, Gusti Situt Mahmud, Gusti Hamzah, H Rais bin H Abdurrahman, Jeranding Abdurrahman, dan Gusti Johan Idrus.
Bersama Gusti Sulung Lelanang, kesembilan tokoh SI Kalimantan Barat itu berjuang mengobarkan semangat kemerdekaan. Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jumlah pendukung setia PSI di Kalimantan Barat bertambah banyak. Sayang, semangat mereka yang menggelora itu ternyata tidak didukung oleh visi dan misi PSI yang kala itu berhaluan kiri. “Khawatir akan terjadinya pemberontakan, penguasa tanah Borneo lantas menginformasikan sepak terjang PSI ke Gubernur Jenderal Belanda, di Batavia,” papar Lisyawati.
Atas saran serta masukan yang diterima, akhirnya Gubernur Jenderal Belanda, di Batavia memerintahkan pemerintah Hindia Belanda yang ada di tanah Borneo untuk membubarkan PSI. Tidak hanya itu, dengan kuasa yang dimiliki, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengasingkan sepuluh tokoh pergerakan Kalimantan Barat tersebut ke ‘Tanah Merah’ di Boven Digoel, Irian Barat atau Papua saat ini.
Pada masa penjajahan Belanda, Boven Digul dahulunya dikenal sebagai tempat pembuangan pejuang kemerdekaan. Boven Digul terbagi atas beberapa bagian, yakni Digul Atas, Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), zone militer yang juga menjadi tempat petugas pemerintah), dan Tanah Tinggi.
Digul Atas, terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, disebutkan Boven Digoel dipersiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan ‘Pemberontakan November 1926.’ Boven Digul kemudian digunakan pula sebagai tempat pembuangan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional. Jumlah tawanannya tercatat 1.308 orang.
Beberapa tokoh pergerakan nasional yang pernah dibuang ke sana antara lain Sayuti Melik (1927-1938), Mohammad Hatta (1935-1936), Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub (tokoh Permi dan PSII Minangkabau). Luas Boven Digul sekitar 10 ribu hektar. Daerah itu berawa-rawa, berhutan lebat, dan sama sekali terasing. Hubungan ke daerah lain sulit, kecuali melalui laut. Berbagai suku Irian (Papua) yang masih primitif berdiam di sepanjang tepian sungai. Karena belum tersedia sarana kesehatan, penyakit menular sering berjangkit. “Di sana, kesepuluh tokoh perjuangan Kalimantan Barat bertemu dengan sejumlah tokoh perjuangan dari daerah lain. Dari mereka, akhirnya para tokoh perjuangan Kalimantan Barat menyadari bahwa PSI memang tidak sejalan dengan arah perjuangan bangsa,” paparnya.
Untuk mengenang perjuangan kesepuluh pejuang Kalimantan Barat yang diasingkan di Boven Digul, pemerintah Kalimantan Barat membuat monumen perjuangan. Bangunan berbentuk bambu runcing itu terletak persis di tengah Jalan A Yani Pontianak. Kebanyakan orang mengenalnya dengan sebutan Bundaran Untan.
http://infopontianak.org/sejarah-tugu-digulis-bundaran-untan